Selasa, 30 Oktober 2007

resensi pendidikan

Judul Buku : Pembodohan Siswa Tersistematis
Penulis : M. Joko Susilo
Penerbit : PINUS Book Publisher - Yogyakarta
Cetakan I : Februari 2007
Tebal : 239 halaman

Pendidikan yang mengarahkan peserta didiknya agar menjadi individu-individu yang merdeka, matang, bertanggungjawab dan peka terhadap permasalahan sosial di sekelilingnya hanyalah gombalan belaka. Amanat dalam Undang-undang pun yang berbunyi bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggungjawab tidak pernah terwujud.

Pendidikan sejatinya adalah satu-satunya harapan bagi generasi bangsa Indonesia agar dapat meraih masa depan yang lebih cerah, kini hanyalah tidak lebih dari suatu lembaga untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya selayaknya prabrik atau semisal yang lainnya. Kenyataannya pendidikan tidak lagi sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, melainkan skandal-skandal pembodohan terhadap peserta didik secara tersistematis dan sangat rapi.

Obral ijazah, jual beli nilai, mengubah kurikulum, guru tidak berkualitas dan orientasi bisnis dalam pendidikan merupakan bukti konkrit akan perilaku pembodohan. Pembohonan siswa tersistematis yang telah menjadi biang keladi gagalnya pendidikan peserta didik yang berkualitas. Lembaga yang bernama sekolah tidak lagi dapat berkutit untuk menjadikan manusia yang tangguh menghadapi tantangan intelektual apalagi yang bersifat tantangal moral yang dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Melalui buku “Pembodohan Siswa Tersistematis“, penulis (M. Joko Susilo) sangat terperinci memberikan refleksi dan cermin bagi bobroknya dunia pendidikan kita saat ini. Yang tanpa disadari pula hal itu tidak lain adalah bentuk dari pembunuhan karakter putra-putra bangsa. Perdebatan perubahan kurikulum, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, rendahnya penghargaan terhadap guru adalah sederatan dilema dunia pendidikan yang sekaligus terjerumus sebagai media proses pembodohan terhadap peserta didik.

Parahnya, saat ini sekolah malah dijadikan sebagai lembaga untuk membangun kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya. Misalnya Lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern telah berubah menjadi lembaga pendidikan elitis dan eksklusif, karena hanya terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu. Sedangkan orang miskin dilarang sekolah dalam hal ini. Karena dengan biaya pendidikan yang melangit mengakibatkan orang miskin mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Setidaknya gambaran dalam buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah“ karya Eko Prasetyo sangat jelas kebenarannya.

Dengan kondisi yang serba tidak menentu ini, sekolah bekan lagi merupakan proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan tragisnya telah membelenggu kreativitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas serta lemah bagi peserta didik. Karena sekolah tidak hanya terkesan elitis tetapi juga sangat rapuh. Baik rapuh dari segi fisik lebih-lebih juga rapuh ketika dihadapkan dengan kekerasan dari luar yang merangsek eksistensinya.

Disamping itu, kasus-kasus yang marak terjadi selama ini di tengah-tengah bangsa ini, seperti rasisme, tawuran, demonstrasi tanpa arah, selain menunjukkan elit politim merupakan preman yang kebal hukum, juga menunjukkan politik pembodohan terhadap rakyat selama ini sangat layak dianggap sukses dan tentunta telah mengakar pada budaya baru bangsa kita. Lantas dalam hal ini siapa yang sepatutnya disalahkan? Sekolahkah? Orang tuakah? Siswakah? Atau bahkan gurukah?

Dalam buku ini, kumpulan tulisan-tulisan M. Joko Susilo yang dihimpun dari artikelnya yang telah tersebar baik di media cetak maupun elektronik, sangat komprehensif memberikan gambaran betapa buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Sekaligus bentuk kenprihatinan penulis atas perilaku pembodohan bagi generasi bangsa yang sudah pada titik nadir. Menurutnya, bersekolah pun justru hanya akan melangsungkan praktik pembodohan.

Sekalipun tidak terdapat singkronitas yang jelas dalam setiap bab bahkan tema tulisannya, M. Joko Susilo juga menghadirkan solusi untuk mengatasi problematikan pendidikan kita. Dibagian akhir buku ini disebutkan bahwa paradigma baru yang memandang kurikulum sebagai strategi membelajarkan siswa, maka penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar.

Sebut saja UN yang hanya tinggal tidak lebih dari satu bulan lagi terus menulai kontroversi. Bagi kalangan yang pro dan kontra akan pelaksanaan UN sebagai bentuk dari evaluasi akhir proses pendidikan untuk menentukan kelulusan peserta didik terus memberikan afirmasinya masing-masing. Kebijakan tetap akan memberlakukan atau bahkan mungkin menghapusan UN pada masa akan datang seharusnya dikembalikan pada semangat pendidikan yang seutuhnya.

Mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang menjadi kian aktual dan mendesak. Karena hakikat dari pendidikan yang demokratis itu sendiri adalah pemerdekaan dan dasar setiap insan disetiap penjuru negeri ini. Tentunta pendidikan akan kehilangan eksitensinya dalam hal ini ketika tidak ada suasana yang memerdekakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Perilaku penbodohan yang terjadi saat ini sebenarnya -disadari maupun tidak disadari- telah mendarahdaging dalam setiap praktek pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya kini seluruh elemen khusunya yang masih peduli pada pendidikan kita sersatu padu untuk membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan dan berbagai perbudakan lainnya. Dengan begitu, dari media pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat kembali derajat bangsa di mata dunia internasional. Semoga!

Senin, 29 Oktober 2007

Pertemuan ini dikelola oleh konsorsium fisikawan teori Indonesia yang ... fisika terkenal di Stanford, AS: SLAC, Stanford Linear Accelerator Center.

Setelah Biologi Molekuler, Mengapa Bukan Fisika Teori ?
Salomo Simanungkalit (Kompas)

SENIN, 2 Mei lalu, lebih dari 100 dosen, peneliti, dan mahasiswa yang menggumuli fisika teori dan kosmologi dari seluruh Indonesia mengikuti Lokakarya Fisika Teori 2005 di Kampus ITB. Topik-topik yang disajikan dalam lokakarya itu tergolong berada di garda terdepan fisika dan astronomi masa kini. Timbul pemikiran, setelah pemerintah memberi perhatian pada biologi molekuler dalam zaman Habibie sebagai Menristek, katakanlah dengan mendirikan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, mengapa pemerintah SBY tidak mencoba mendukung bidang ini sebagai unggulan iptek Indonesia saat ini?

DANA yang diperlukan tidak tergolong banyak. Untuk fisika teori dan kosmologi fundamental, misalnya, "modal" selanjutnya yang diperlukan adalah langganan jurnal, buku-buku terbaru, fasilitas internet, dan-tentu ini sangat perlu-gaji yang memadai. Sumber daya manusianya Indonesia sudah punya, menyebar di beberapa lembaga pendidikan dan penelitian. Untuk fisika teori fenomenologis, selain yang disebut tadi adalah dukungan pemerintah kepada para peneliti untuk bisa menumpang eksperimen di laboratorium-laboratorium negara maju. Bidang ini asalkan didukung secara finansial yang ordenya tergolong amat kecil dibandingkan dengan apa pun (apalagi korupsi para petinggi negara) sangat membuka peluang ilmuwan Indonesia mendapat Nobel dalam fisika. Paling tidak, memberi sumbangan berarti melalui jurnal-jurnal internasional terkemuka.

Dari lokakarya ini terlihat, ternyata cukup banyak manusia Indonesia (113 orang dari berbagai angkatan) yang mau bekerja di "tempat yang sepi", menggeledah rahasia Alam dengan mengoptimalkan nalarnya menggunakan rute-rute yang telah dirintis pendahulu mereka di berbagai belahan dunia. Ketekunan mereka di sektor ini membuka peluang juga merintis rute-rute baru dalam "proyek" penggeledahan rahasia Semesta ini.

Negara-negara yang sekarang didefinisikan sebagai negara maju-seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Kanada, dan Jepang- boleh dibilang bisa mencapai tingkat tersebut setelah mereka membangun fisika teori lebih dulu. Bahkan, negara yang belum sampai pada tahap maju, seperti Rusia atau Uni Soviet dulu, memberi perhatian yang luar biasa dalam bidang ini sampai ada di antara fisikawannya yang mendapat Nobel. Israel sebagai negara kecil jangan ditanya berapa fisikawan teori mereka yang menyebar di seluruh dunia. Raksasa China dan India dalam konteks jumlah penduduk, demikian pula Pakistan yang kurang lebih searas dengan Indonesia dalam perekonomian, lebih awal memberi perhatian dalam bidang ini.

Binatang apakah fisika teori itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua nama tokoh dari golongan ilmuwan yang sudah kadung digolongkan sebagai selebritis mungkin akan membantu. Kedua ilmuwan selebritis itu adalah Albert Einstein dan Stephen Hawking. Tak ada yang tak mengenal kedua nama ini. Mereka sama-sama besar karena pemikiran dan pekerjaan mereka yang luar biasa dalam bidang yang sekarang disebut sebagai fisika teori dan kosmologi. Einstein, misalnya, melahirkan banyak gagasan, tapi mungkin yang paling banyak peranannya membuat dunia yang kita tinggali ini bisa berkomunikasi dengan internet melalui komputer adalah efek fotolistrik yang mendasari pendirian mekanika kuantum.

Lapangan kerja bagi fisikawan teori maupun kosmologiwan adalah seluruh Alam Semesta, dari jagat amat renik sampai jagat amat raksasa. Nama lain untuk kedua kosmos ini adalah mikrokosmos dan makrokosmos atau fisika partikel elementer dan kosmologi. Jalur mereka untuk menggeledah rahasia mikrokosmos dan makrokosmos secara kasar dapat dibagi dua: fisika teori fundamental dan fisika teori fenomenologis. Keduanya sama-sama bermodalkan instrumen analitis yang disebut matematika. Tidak sembarang matematika, tapi matematika murni. Tidak jarang seorang fisikawan teori fundamental malah ikut mengembangkan matematika murni.

Kalangan fisikawan teori fundamental lebih mengikuti jalur Maxwell dalam riset-riset mereka. Ada keyakinan kuat pada komunitas ini bahwa bila gagasan mereka membongkar rahasia Alam dapat dipertanggungjawabkan secara matematika, ada peluang besar bahwa kelak eksperimen akan membuktikannya. Kalangan fisikawan teori fenomenologi berpikir bukti eksperimental adalah hakim terakhir untuk suatu gagasan. Kedua kalangan sama- sama punya kebanggaan pada "hakimnya" masing-masing. Tak jarang mereka saling mencemooh, tapi tetap dalam batas- batas perkawanan. Pokoknya, belum tercatat mereka saling tonjok seperti yang terjadi di rapat paripurna DPR atau parlemen Taiwan, misalnya.

Di luar fisika teori, banyak sekali cabang fisika. Fisika zat padat, fisika material, fisika bumi, fisika komputasi, fisika biologi, fisika kedokteran, sampai fisika keuangan, dan lain-lain. Sejak jurusan fisika di tingkat perguruan tinggi dimulai di Indonesia pada pertengahan tahun 1940-an, baru mulai awal tahun 1960-an ada orang Indonesia yang menggumuli fisika teori sampai di tingkat doktor. Nama-nama seperti Achmad Baiquni, kini almarhum, dan Mohammad Barmawi adalah angkatan pertama. Keduanya doktor lulusan Amerika Serikat. Setelah itu muncul nama Pantur Silaban dan Tjia May On yang mengajar di ITB, Darmadi di UI, dan H Muslim di Universitas Gadjah Mada.

Di angkatan selanjutnya ada Armahedi Mahzar, Hans Jacobus Wospakrik, kini almarhum, dan Erwin Sucipto yang dalam lima tahun belakangan mengajar di beberapa universitas di Amerika Serikat. Angkatan berikutnya LT Handoko (LIPI), Terry Mart (UI), Freddy P Zen, Triyanta, Alexander Iskandar, Bobby E Gunara, dan Jusak Kosasih di ITB, Husin Alatas di IPB, dan Agus Purwanto di ITS. Selain mereka, masih puluhan mahasiswa dari tingkat S3 sampai S1 yang memilih bidang ini menyebar di belasan perguruan tinggi di Indonesia.

Sampai angkatan Hans Wospakrik, fisikawan teori Indonesia lebih banyak bekerja sendiri. Ini dapat dipahami sebab anggota komunitas ini amat sedikit. Baru pada angkatan Handoko, Terry Mart, dan Freddy Zen kegiatan merangkul sesama fisikawan teori ke dalam sebuah komunitas mulai digarap. Salah satu bentuk usaha merangkul itu adalah kegiatan bernama Lokakarya Fisika Teori (LFT) yang dimulai kali pertama pada tahun 2004. Diselenggarakan di UI pada 19 Mei 2004, LFT merupakan embrio dan satu-satunya pertemuan ilmiah tahunan khusus untuk fisika teori di Indonesia maupun ASEAN. Pertemuan ini dikelola oleh konsorsium fisikawan teori Indonesia yang tergabung dalam Grup Fisikawan Teoretik Indonesia (GFTI) dan merupakan perwakilan seluruh institusi yang memiliki kegiatan ilmiah di bidang terkait.

Berbeda dengan pertemuan ilmiah pada umumnya, menurut LT Handoko, LFT tidak dikelola dan dimiliki oleh lembaga tertentu, melainkan oleh konsorsium yang saat ini mewakili ITB, UI, LIPI, Batan, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, Universitas Syiah Kuala, IPB, Universitas Gadjah Mada, dan ITS. Karena itu, tempat penyelenggaraannya akan bergilir di kalangan anggota konsorsium dengan panitia lokal personel di institusi penyelenggara.

LFT kedua berlangsung 2 Mei lalu di ITB. Diikuti 113 peserta, LFT dengan tema Frontiers in Theoretical Physics, Astrophysics and Cosmology ini terbagi atas dua sesi paripurna dan dua sesi paralel. Sesi paripurna pertama diisi dengan ceramah fisikawan teori senior Prof H Muslim: Einstein's 1905 Legacy in Special relativity and Quantum Physics, Its Contextual Development as Modern Physics Paradigms. Selain sebagai lokakarya, LFT kedua memang diadakan dalam rangkaian perayaan 100 Tahun Relativitas Khusus Einstein dan Tahun Fisika seperti yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sesi paripurna kedua diisi dengan ceramah fisikawan teori senior Prof Pantur Silaban, Symmetry of Elementary Interactions. Sebanyak 28 pembicara ditampilkan dalam dua sesi paralel, yang masing-masing terdiri dari empat kelas. Sesi paralel ini memperlihatkan betapa fisikawan teori Indonesia mengikuti semua perkembangan terbaru fisika.

Di kawasan partikel elementer, misalnya, dua jalur besar diisi masing-masing oleh kaum fundamentalis yang dimotori Freddy P Zen dan Bobby Gunara dan kaum fenomenologis yang dimotori LT Handoko dan Terry Mart. Kaum fundamentalis partikel ini masih dapat digolongkan ke dalam tiga mazhab - point particle, string particle, dan skyrmion particle - dengan riset-riset mereka yang terutama menawarkan metode-metode matematika untuk memahami fenomena fisika dalam partikel elementer.

Kaum fenomenologis partikel mengemukakan sejauh mana hasil-hasil eksperimen mereka mengonfirmasikan teori-teori yang berkembang pesat di pelataran partikel elementer ini. Di kawasan kosmologi aspek paradigma lebih menonjol seperti Constrains on Dark Energy from Weak Leasing dari Premana W Premadi (Astronomi ITB) dan The General Theory of Relativity under the Fock- Schwinger Gauge Condition dari Triyanta (Fisika ITB).

Ihwal eksistensi pentaquark, partikel yang terdiri dari lima quark-biasanya partikel seperti nukleon dan lain-lain terdiri dari tiga quark-banyak menarik perhatian dalam LFT kali ini.

Terry Mart yang bersama komunitas fisikawan dunia terlibat dalam eksperimen pencarian pentaquark ini mengisahkan bahwa sampai awal tahun 2005 ini jumlah eksperimen yang menjanjikan adanya pentaquark dan yang mengatakan bahwa tidak ada pentaquark sampai saat ini seimbang: sama-sama 10 eksperimen. Dalam LFT ini Terry menceritakan bagaimana pentaquark ditemukan. Tampaknya ada kaitan dengan energi yang dibutuhkan dalam proses pencarian itu.

LFT tahun 2006 direncanakan diadakan di Yogyakarta. Penentuan tempat ini melalui musyawarah. Semangatnya adalah biaya yang dikeluarkan peserta untuk mengikuti LFT sekecil-kecilnya. Untuk tahun ini, misalnya, biaya pendaftaran Rp 25.000 buat mahasiswa, termasuk makan, dan Rp 50.000 buat nonmahasiswa, termasuk makan.

LFT tampaknya diproyeksikan dapat diikuti peserta dari luar Indonesia. Maka sejak dini nama lokakarya ini sudah dibuat menginternasional: Workshop on Theoretical Physics. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, judul-judul presentasi hampir semua dalam bahasa Inggris. Penyelenggaraannya 2 Mei lalu diberi nama WTP 2K5 dan oleh Boby Gunara sudah didaftarkan sebagai kegiatan ilmiah ke laboratorium fisika terkenal di Stanford, AS: SLAC, Stanford Linear Accelerator Center.

"WTP 2K5 sudah kami masukkan ke dalam pangkalan data Konferensi SLAC," tulis Georgia Row pada 3 Februari lalu.

Sistem penyelenggaraan lokakarya dengan konsorsium ini, menurut LT Handoko, diharapkan bisa menghilangkan sekat dan ego lembaga serta melanggengkan pelaksanaan LFT. Organisasi GFTI dan konsorsium ini pun bersifat cair, tidak mengenal kepengurusan. Semua anggota adalah sama dan virtual.

"Dengan sistem manajemen modern dan terbuka serta berbasis profesionalisme semata, relatif kelanggengan bisa terjaga dan tidak ada beban kerja berlebihan pada sebagian anggota," kata LT Handoko. "Sistem organisasi dan pertemuan ilmiah semacam ini juga sudah diadopsi oleh organisasi profesi ilmiah lain, seperti Masyarakat Komputasi Indonesia dan Masyarakat Nano Indonesia."

Freddy P Zen selaku chairman lokakarya ini mengatakan bahwa lokakarya ini mengumpulkan fisikawan teori dari angkatan yang pernah ada. "Jadi, angkatan Pak Silaban dan Pak Muslim mengantar kami yang muda-muda ini memulai pertemuan ilmiah yang profesional," katanya.

Melihat suasana pertemuan yang produktif dan topik-topik yang sedang dikerjakan para fisikawan teori ini yang semuanya di deretan frontier, tidak keliru tampaknya disarankan kepada pemerintah supaya memberi perhatian pada bidang yang memprasyaratkan daya nalar, power of reason ini.